JAKARTA, iNews.id - Perayaan Hari Asyura tiap 10 Muharram identik dengan hidangan bubur Asyura.
Hidangan khas tersebut ternyata tak hanya menjadi tradisi, tapi juga sarat makna.
Sejarah Bubur Asyura Bubur Asyura yang dihidangkan tiap Hari Asyura merupakan bentuk pengungkapan rasa syukur manusia atas keselamatan yang selama ini diberikan oleh Allah SWT.
Bubur Asyura ternyata sudah ada sejak masa Nabi Nuh kala bersama kaumnya yang beriman selamat dari banjir besar dengan menaiki perahu.
Sebagian ulama' berpendapat : "Banjir itu menggenang di atas bumi selama 6bulan" Sebagian ulama' lagi berpendapat bahwa banjir itu menggenangi bumi selama 150 hari (5 bulan).
Setelah hampir enam bulan, perahu Nabi Nuh berlabuh tepat pada Hari Asyuro,yaitu tanggal 10 Bulan Muharram.
"Kemudian berpuasalah Nabi Nuh dihari itu sebagai ungkapan syukur kepada Allah. Nabi Nuh juga memerintahkan semua penumpang untuk ikut menunaikan puasa sebagai tanda syukur atas kenikmatan yang telah diberikan oleh Allah SWT.
Para hewan semua juga ikut melakukan puasa. Dinukil dari laman PISS-KTB, dihikayatkan, bahwa tatkala perahu Nabi Nuh as sudah berlabuh (siap digunakan) pada hari Asyuro,
Nabi Nuh berkata kepada kaumnya: “kumpulkanlah semua perbekalan yang ada pada diri kalian!”.
Lalu beliau menghampiri (mereka) dan
berkata: “(ambillah) kacang fuul (semacam kedelai) ini sekepal, dan ‘adas (biji-bijian) ini sekepal, dan ini dengan beras, dan ini dengan gandum dan ini dengan jelai (sejenis tumbuhan yang bijinya/buahnya keras dibuat tasbih)”. Kemudian Nabi Nuh berkata: “pasaklah semua itu oleh kalian!, niscaya kalian akan senang dalam keadaan selamat”.
Dari peristiwa ini maka kaum muslimin (terbiasa) memasak biji-bijian. Kejadian di atas merupakan praktik memasak yang pertama kali terjadi di atas muka bumi setelah kejadian topan. Dan juga peristiwa itu dijadikan (inspirasi) sebagai kebiasan setiap hari Asyura.
Versi lain menyatakan tradisi bubur Asyura juga berkaitan dengan kisah ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup.
Saat itu Perang Badar sedang berlangsung. Usai perang, jumlah prajurit Islam menjadi lebih banyak. Seorang sahabat Nabi Muhammad SAW kemudian memasak bubur.
Namun jumlah makanan yang ia buat tak mencukupi karena jumlah prajurit yang begitu banyak.
Akhirnya Nabi Muhammad SAW memerintahkan para sahabatnya untuk mengumpulkan bahan apa saja yang tersedia untuk kemudian dicampurkan ke bubur tersebut agar jumlahnya cukup dan bisa didistribusikan pada semua prajurit.
Selain itu, 10 Muharram bertepatan juga dengan peristiwa penting dalam sejarah Islam.
Yakni Perang di Karbala ketika Husain, cucu Nabi Muhammad SAW terbunuh.
Sejak itu, tradisi membuat bubur Asyura dilakukan kaum Muslim di berbagai belahan dunia tak terkecuali di Indonesia.
Salah satu daerah yang masih menjaga tradisi pembuatan Bubur Asyura yakni di Kalimantan Selatan.
Kepala Biro Kesra Pemprov Kalsel, Ahmad Solhan mengatakan, tradisi ini digelar dalam rangka memperingati Tahun Baru Islam 1444 H, sekaligus ajang silaturahmi Gubernur dengan karyawan/karyawati lingkup Pemprov Kalsel.
"Sekitar 3.000 porsi bubur yang kita bagikan. Selain untuk karyawan SKPD, juga akan kita bagikan pada masyarakat sekitar perkantoran provinsi," ujarnya.
Diketahui, pembuatan bubur tersebut menghabiskan sebanyak tiga blek beras, atau setara dengan 60 liter. Bubur yang konon terdiri atas 41 bahan tersebut telah dimasak sejak pukul 03.00 dini hari.
Wallahu A'lam.
Editor : Jamaluddin
Artikel Terkait