JAKARTA, iNewsPortalAceh.id – Ketua Dewan Pimpinan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) Puan Maharani menyoroti kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Provinsi Aceh dan Sumatera Utara (Sumut).
Ia menilai, bencana ini bukan semata kejadian alam biasa, tetapi sinyal bahwa Indonesia belum keluar dari krisis ekologis.
Negara tidak boleh tertinggal dalam menanggapi siklus bencana seperti karhutla.
Menurut Puan Maharani, penanganan bencana harus berubah dengan menerapkan sistem preventif.
“Penanganan bencana harus berpindah dari pola penanganan darurat menjadi sistem yang preventif, tangguh, dan berbasis pada pengelolaan ekosistem yang berkelanjutan. Jika bencana datang lebih cepat dari kesiapsiagaan, itu artinya ada sistem yang belum berjalan sebagaimana mestinya," ujar Puan, Rabu (9/7/2025) kemarin.
Puan mengatakan, karhutla yang terus terjadi menandakan lemahnya sistem pengawasan dan kontrol terhadap lahan-lahan rawan terbakar.
"Ketika kejadian seperti ini terus berulang dari tahun ke tahun di wilayah yang sama, maka bukan hanya kemampuan pemadaman yang perlu ditingkatkan, tapi juga akuntabilitas dalam pengelolaan kawasan dan penegakan hukumnya," tuturnya.
Ia mengimbau masyarakat untuk tetap waspada dan tidak melakukan aktivitas pembakaran lahan secara sembarangan.
Puan juga meminta masyarakat segera melaporkan kepada pihak berwenang apabila melihat tanda-tanda kebakaran hutan dan lahan guna menghindari kerugian yang lebih luas.
"Pemerintah daerah juga harus terus berkomitmen menjaga keselamatan warga dan lingkungan hidup melalui upaya penanggulangan bencana secara terpadu," katanya.
Puan Maharani juga mendorong pemerintah daerah dan BPBD untuk terus memantau situasi secara berkala dan memaksimalkan upaya edukasi kepada masyarakat untuk mencegah terjadinya karhutla.
"Keselamatan dan penanggulangan dampak menjadi prioritas utama dalam menghadapi situasi ini," tegasnya.
Selain itu, Puan meminta seluruh pemangku kepentingan, baik di pusat maupun daerah, untuk memperkuat integrasi antara perencanaan wilayah, konservasi lingkungan, dan kebijakan mitigasi risiko bencana.
Ia menegaskan bahwa pembangunan tidak boleh dibenarkan jika dilakukan dengan mengorbankan daya dukung lingkungan.
"Investasi dalam ketahanan iklim dan perlindungan ekosistem harus menjadi prioritas nasional. Negara harus hadir sebelum bencana datang, dengan sistem yang mampu melindungi warga secara adil, merata, dan berkelanjutan," paparnya.
Seperti diketahui, bencana karhutla terjadi di Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh, yang pertama kali terpantau pada Sabtu 5 Juli 2025.
Titik-titik kebakaran tersebar di tiga kecamatan, dan hingga saat ini penyebab kebakaran masih dalam proses penyelidikan pihak berwenang.
Berdasarkan hasil pemantauan lapangan yang dilakukan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), total luas lahan yang terbakar diperkirakan mencapai 9 hektare (Ha).
Beruntung, tidak terdapat laporan korban jiwa akibat kejadian itu. Selain di Aceh Barat, karhutla juga melanda lahan di wilayah Kecamatan Silahisabungan, tepatnya di Desa Paropo, Kabupaten Dairi, Sumut, sejak Jumat 4 Juli 2025.
Berdasarkan hasil asesmen di lapangan, luas area yang terdampak mencapai 28 Ha. Karhutla di Sumut juga dilaporkan terjadi di Nias Utara, dengan 10 Ha lahan hangus terbakar akibat kejadian itu.
Editor : Jamaluddin