LHOKSEUMAWE, iNews.id- Awal bulan September 2022 pada hari Kamis tanggal 1 harga BBM non-subsidi mengalami penurunan, Pertamina mengumumkan harga terbaru dari 3 jenis BBM non-subsidi yaitu Pertamax Turbo RON 98 dengan harga Rp15.900 per liter, kemudian Dexlite CN 51 dengan harga Rp17.100 per liter, lalu Pertamina Dex CN 53 dengan harga Rp17.400 per liternya untuk daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Minggu,(11/9/2022).
Adapun harga sebelumnya untuk daerah Aceh dengan jenis BBM Pertamax Turbo yaitu Rp17.900 per liter, Dexlite dengan harga Rp17. 800 per liter dan Pertamina Dex dengan harga Rp18.900 per liternya.
Penurunan harga BBM jenis Pertamax Turbo ini sebesar Rp2.000 per liter atau 11,17% dari harga awal, Dexlite turun harga Rp700 per liter atau 4% dari harga awal, lalu Pertamina Dex turun Rp1.500 per liter atau 8% dari harga awal.
Dua hari setelah di umumkannya harga terbaru BBM jenis non-subsidi, pada 3 September 2022 Pertamina kembali mengeluarkan harga BBM jenis non-subsidi Pertamax RON 92 dan BBM jenis subsidi Pertalite RON 90 dan Solar CN 48. Di Provinsi Aceh, harga awal Pertamax RON 92 Rp12.500 naik menjadi Rp14.500 per liter, Pertalite RON 90 dari Rp7.650 naik menjadi Rp10.000 per liter, lalu Solar CN 48 dari Rp5.150 naik menjadi Rp6.800 per liternya.
Adapun kenaikan Pertamax sebesar Rp2.000 per liter atau naik 16% dari harga awal, Pertalite naik sebesar Rp2.350 per liter atau naik 30,71% dari harga awal, lalu Solar naik sebesar Rp1.650 per liter atau naik 32% dari harga awal.
Andrey Revaldi selaku Ketua DEM Aceh mengamati kenaikan harga BBM non-subsidi ini berdasarkan beberapa hal. Pertama, stabilitas harga minyak dunia yang kian hari semakin tidak menentu harganya.
Per tanggal 9 September 2022, harga minyak WTI di angka US$ 86,57/barel dan harga minyak Brent di angka US$ 92,66/barel. Tentu harga ini tergolong tinggi.
Kedua, melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap USD. Semakin tinggi nilai tukar rupiah terhadap dollar, maka semakin banyak uang yang harus pemerintah kucurkan untuk mengimpor minyak mentah.
Ketiga, bengkaknya APBN negara – negara importir minyak termasuk Indonesia, dari tahun ke tahun subsidi energi Indonesia semakin meningkat drastis karena hal ini terkecuali pada tahun 2020 yang lalu karena Indonesia mengalami bencana nasional yaitu pandemi Covid-19.
Bersumber dari LKPP (Laporan Keuangan Pemerintah Pusat), di tahun 2019 subsidi energi di angka Rp136,88 T, di tahun 2020 subsidi energi mengalami penururan dengan angka Rp108,8 T atau berkurang senilai Rp28,08 T (20,5%), Kemudian subsidi energi tahun 2021 mengalami sebesar Rp140,41 T atau naik sebesar Rp31.61 T (29%) dan di tahun 2022 ini meningkat sangat tidak terduga di angka Rp502,4 T atau naik sebesar Rp361,99 T (meningkat 257,8% dari tahun sebelumnya.
Tentunya dari data – data tersebut membuat hutang Indonesia semakin membesar tiap tahunnya.
Keempat, Indonesian Crude Price (ICP) semakin meningkat tiap semesternya. Dengan Dimulai dari Februari 2021 ICP sebesar US$ 60,36/barel, di tahun yang sama pada bulan September 2021 naik menjadi US$ 72,20/barel, Februari 2022 disambut lagi dengan kabar duka ICP naik menjadi US$ 95,72/barel dan Juni 2022 naik lagi menjadi US$ 117,62/barel.
Kelima, produksi minyak bumi per hari Indonesia kurun 6 tahun terakhir selalu merosot. DI tahun 2017 produksi minyak bumi Indonesia hanya di angka 801 MBOPD, di tahun 2018 menurun menjadi 771 MBOPD, di tahun 2019 menurun lagi menjadi 746 MBOPD, di tahun 2020 menurun lagi menjadi 706 MBOPD, di tahun 2021 kembali turun menjadi 660 MBOPD dan berdasarkan dataharian.esdm.go.id per 7 September 2022 hanya 602 MBOPD sedangkan konsumsi semakin tahun semakin meningkat yang sampai pada hari ini mencapai 1,4 Juta BOPD.
Hal ini semakin membuat Indonesia harus mengimpor banyak minyak mentah dan hanya angan – angan semata untuk mimpi produksi nasional 1 Juta BOPD yang dibuat oleh SKK Migas. DEM Aceh mencermati kenaikan harga BBM jenis subsidi sebagai berikut: Naiknya harga bahan – bahan pokok akibat dari naiknya harga BBM jenis subsidi yang mana masyarakat belum sepenuhnya pulih di sektor ekonomi akibat pandemi Covid-19.
Turunnya daya beli masyarakat terhadap kebutuhan – kebutuhan pendukung lain akibat naik nya harga BBM.
Meningkatnya angka pengangguran akibat PHK dari perusahaan yang terdampak kenaikan BBM subsidi. Angka kemiskinan atau masyarakat menengah ke bawah semakin bertambah.
Lifting minyak bumi yang selalu tidak mencapai target dan mengakibatkan bertambah besarnya angka impor di sektor minyak bumi. Indonesian Crude Price (ICP) empat semester belakangan ini selalu naik yang membuat bengkaknya APBN dari tahun ke tahun.
Situasi geopolitik migas dunia akibat perang Rusia – Ukraina. Atas nama Mahasiswa dan Rakyat Indonesia serta menjunjung Kedaulatan Energi Indonesia secara berkelanjutan, DEM Aceh menegaskan beberapa hal berikut ini:
Meminta kepada Presiden Republik Indonesia untuk memastikan harga bahan – bahan pokok tetap stabil efek dari naiknya BBM jenis subsidi demi kesejahteraan masyarakat menengah ke bawah.
Lifting minyak bumi beberapa tahun ini selalu menurun maka dari itu kami meminta kepada Presiden Republik Indonesia melalui Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, Kementerian LHK, Kementerian Investasi/BKPM dan Kapolri sebagai Komisi Pengawas untuk mengevaluasi tupoksi dan kinerja SKK Migas sebagai upaya mengurangi volume dan nilai impor.
Meminta kepada Presiden Republik Indonesia membentuk Satuan Tugas (Satgas) yang terdiri dari BPH Migas, KESDM, Pertamina dan Polri untuk mengawasi sistem distribusi sampai ke level SPBU agar terhindarnya permasalahan yang tiap tahun terjadi yaitu kuota jebol akibat tidak tepatnya sasaran distribusi.
Sebagai upaya mahasiswa menjadi bagian dari civil society, kami meminta kepada Pemerintah Republik Indonesia untuk membuat program penelitian dan pengembangan kompor dan kendaraan listrik yang bisa di komersialkan dengan harga terjangkau sebagai bentuk kontribusi mahasiswa dalam mengurangi efek gas rumah kaca serta nilai dan volume BBM sesuai dengan Paris Agreement dan Conference of The Parties (COP).
Meminta kepada Presiden Republik Indonesia untuk membuat kebijakan pembatasan jumlah kendaran yang dimiliki oleh per orang atau per keluarga guna mengatasi maraknya kemacetan di kota – kota besar, mengatasi efek gas rumah kaca, udara yang sehat, meminimalisir kuota BBM yang digunakan pada kendaraan pribadi serta beralih ke transportasi umum.(Rizki)
Editor : Jamaluddin
Artikel Terkait