JAKARTA, iNewsPortalAceh.id – Pemerintah Pusat melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) akhirnya melunak terkait polemik kepemilikan empat pulau yang menjadi sengketa antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara. Kemendagri memastikan akan melakukan kajian ulang secara menyeluruh terhadap status administratif keempat pulau tersebut pada Selasa, 17 Juni 2025.
Gubernur Aceh Muzakir Manaf dengan tegas menyatakan bahwa keempat pulau yang berada di kawasan perairan antara Kabupaten Aceh Singkil (Aceh) dan Kabupaten Tapanuli Tengah (Sumut) adalah bagian sah dari wilayah Aceh. Ia menegaskan klaim tersebut berdasarkan bukti sejarah, geografis, dan administratif yang kuat.
“Kalau pulau itu sebenarnya kewenangan Aceh, kami punya alasan kuat, punya bukti kuat, punya data kuat. Sejak dahulu kalau itu memang punya Aceh,” ujar Muzakir Manaf di Jakarta, Rabu (12/6/2025).
Menurutnya, klaim Sumatera Utara tidak memiliki dasar yang cukup kuat dan seharusnya tidak dipersoalkan lebih lanjut.
“Jadi itu memang hak Aceh dari segi geografi, sejarah. Tidak perlu dipermasalahkan,” lanjut Muzakir.
Sikap tegas Aceh akhirnya mendapat tanggapan dari Kemendagri. Wakil Menteri Dalam Negeri, Bima Arya, mengatakan bahwa kajian ulang akan dipimpin langsung oleh Mendagri Tito Karnavian selaku Ketua Tim Nasional Penamaan Rupa Bumi.
"Menteri Dalam Negeri sebagai Ketua Tim Nasional Penamaan Rupa Bumi akan melakukan kaji ulang secara menyeluruh pada hari Selasa, tanggal 17 Juni 2025," tegas Bima kepada awak media, Jumat (13/6/2025).
Ia menambahkan bahwa kementeriannya memberikan perhatian serius terhadap konflik batas wilayah ini.
"Kementerian Dalam Negeri memberikan atensi penuh terhadap persoalan sengketa pulau antara Provinsi Aceh dan Provinsi Sumatera Utara," ujarnya.
Menurut Bima, sengketa wilayah ini sudah berlangsung lama dan memicu keresahan di masyarakat, sehingga harus disikapi dengan penuh kehati-hatian.
"Sengketa ini sudah berlangsung lama dan saat ini menimbulkan polemik dan kontroversi di tengah masyarakat yang harus disikapi dengan cermat dan penuh kehati-hatian."
Penyelesaian konflik, lanjut Bima, harus berdasarkan data yang lengkap dari semua pihak, tidak hanya dari aspek geografis tapi juga historis dan budaya lokal.
"Penyelesaian persoalan ini memerlukan data dan informasi yang akurat dan lengkap dari semua pihak terkait. Penting untuk tidak saja melihat peta geografis tetapi juga sisi historis dan realita kultural," pungkasnya.
Editor : Suriya Mohamad Said
Artikel Terkait