GAZA, iNewsPortalAceh.id - Seorang perempuan di Jalur Gaza, Palestina, melahirkan bayi kembar empat di sebuah rumah sakit di selatan. Perempuan bernama Iman Al Masry itu harus berjalan kaki 5 km dari rumahnya di Gaza Utara untuk mengungsi sampai akhirnya mendapat tumpangan kendaraan ke selatan.
Dia meninggalkan rumahnya di Beit Hanoun setelah Israel menggelar operasi darat di Gaza Utara.
Masry meninggalkan rumah dan berjalan kaki bersama tiga anaknya untuk mencari pertolongan.
Dari rumah, mereka berjalan menuju kamp pengungsi Jabalia sejauh 5 km. Kemudian mereka mendapat transportasi untuk pergi ke Deir Al Balah di Gaza Selatan.
"(Saat itu) Saya sedang hamil 6 bulan dan jaraknya terlalu jauh. Ini memengaruhi kehamilan saya," kata perempuan 28 tahun itu, dikutip dari AFP.
Singkat cerita, Masry tiba di Gaza Selatan dan mendapat perawatan di sebuah rumah sakit.
Dia masih bisa ditangani dokter dan melahirkan melalui operasi Caesar pada 18 Desember.
Dua bayi yang lahir adalah perempuan diberi nama Tia dan Lynn, sementara dua lainnya laki-laki diberi nama Yasser dan Mohammed.
Namun Masry diminta segera meninggalkan rumah sakit bersama tiga bayinya, kecuali Mohammed, karena kondisinya terlalu rentan untuk dibaw pergi.
“Mohammed beratnya hanya 1 kilogram,” kata Masry.
Masry dan anak-anaknya harus meninggalkan rumah sakit untuk memberi kesempatan bagi pasien lain mendapat perawatan.
Kini, Masry, Tia, Lynn, dan Yasser, bersama tiga anaknya yang lain tinggal di sebuah sekolah yang menjadi tempat pengungsian yakni di Deir Al Balah.
Dia berada di situ bersama sekitar 50 anggota keluarga besar mereka. Di pengungsian keluarganya hanya bisa bertahan dengan beberapa potong pakaian.
Saat memutuskan mengungsi, tak banyak yang dipikirkan Masry, sehingga hanya membawa kebutuhan seadanya.
"Ketika meninggalkan rumah, saya hanya membawa beberapa pakaian musim panas untuk anak-anak. Saya kira perang akan berlangsung 1 atau 2 minggu dan setelah itu kami akan kembali ke rumah,” ujarnya.
Seperti para ibu lainnya, Masry berharap bisa menjalankan tradisi dan merayakan kelahiran bayi-bayinya, termasuk memandikan dengan air mawar.
Namun jangankan memandikan, mendapat air bersih saja sulit. "Kami bahkan belum bisa memandikan mereka," katanya.
Dia menambahkan jatah popok di pengungsian juga dibatasi karena kondisi yang tak memungkinkan.
"Biasanya saya mengganti popok bayi setiap 2 jam. Tapi situasinya sulit dan saya harus berhemat,” katanya, seraya menambahkan bayi yang baru lahir hanya mendapat jatah popok di pagi dan malam hari.
Sementara sang suami, Ammar (33), merasa terpukul karena tidak bisa menafkahi keluarganya.
Editor : Jamaluddin
Artikel Terkait