YOGYAKARTA, iNewsPortalAceh.id – Ada ironi besar yang sedang terjadi di tanah rencong. Bahasa Aceh, yang dulu menjadi simbol perlawanan, identitas, sekaligus penanda peradaban istimewa di ujung barat Indonesia, kini terancam punah.
Peringatan keras itu datang dari Nuzulul Azmi, mahasiswa Magister Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) asal Lhokseumawe, Aceh.
Ia menyoroti data Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) 2024 dan klasifikasi UNESCO yang menempatkan Bahasa Aceh dalam kategori “definitely endangered” atau “terancam punah secara pasti”.
“Bahasa Aceh bukan hanya alat komunikasi, tetapi cerminan sejarah, budaya, dan nilai perjuangan masyarakat Aceh. Kalau bahasa ini hilang, maka kita sedang kehilangan separuh dari jati diri,” ujarnya lantang, Minggu (24/8).
Bahasa Perlawanan, Kini Diambang Senyap.
Menurut Nuzulul, fakta ini pahit. Bahasa yang pernah menjadi pengikat semangat rakyat Aceh melawan kolonialisme dan yang melahirkan siaran legendaris Radio Rimba Raya, kini justru nyaris tak terdengar di rumah-rumah orang Aceh sendiri.
“Bayangkan, bahasa dari daerah terakhir yang bertahan dalam sejarah republik ini, kini nyaris ditertawakan oleh generasi penerusnya sendiri. Ironi yang menyakitkan,” tegasnya.
Bahasa Aceh disebutnya masuk kategori “bahasa ibu yang ditinggalkan” karena generasi muda lebih memilih bahasa Indonesia, bahkan bahasa gaul dan asing, untuk komunikasi sehari-hari.
“Kalau ini terus berlanjut, beberapa dekade lagi bahasa Aceh bisa benar-benar hilang. Dan itu bukan hanya kehilangan bagi Aceh, tapi kehilangan besar bagi bangsa Indonesia,” tambahnya.
Jangan Malu Berlogat Aceh.
Nuzulul menilai ancaman kepunahan bahasa Aceh bukan sekadar soal globalisasi atau modernisasi, tapi juga persoalan mental: banyak anak muda Aceh minder menggunakan logat daerahnya.
“Melestarikan bahasa bukan hanya soal komunikasi, tapi merawat jati diri. Di balik setiap kata Bahasa Aceh, ada sejarah, ada semangat perlawanan. Ingat, logat Aceh bukan aib!” serunya.
Ia bahkan menutup dengan kalimat yang menohok:
“Kamu lahir dari rahim Aceh, tapi menertawakan bahasa dan logat yang dulu meninabobokkanmu. Apa gunanya cerdas kalau akarmu kau injak sendiri?”
Butuh Gerakan, Bukan Sekadar Data.
Sebagai akademisi muda, Nuzulul mendorong pemerintah daerah, institusi pendidikan, dan komunitas budaya untuk segera membuat program revitalisasi bahasa Aceh.
Menurutnya, tanpa langkah konkret, data tentang “bahasa terancam punah” hanya akan menjadi catatan pasif, sementara identitas Aceh terkubur perlahan.
Editor : Jamaluddin
Artikel Terkait