BANDA ACEH, iNews.id - Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Aceh mengecam aksi pengrusakan alat kerja wartawan media Harian Serambi Indonesia ketika meliput unjuk rasa mahasiswa di DPR Aceh, Rabu siang, 7 September 2022 kemarin.
Korban insiden tersebut adalah Indra Wijaya, wartawan media Harian Serambi Indonesia. Sedangkan tersangka pelaku disebut-sebut oknum anggota Polri berpakaian preman.
“Apapun alasannya, tindakan merampas, merusak, dan menghalang-halangi kerja wartawan tidak bisa ditolerir. Wartawan bekerja berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 tentang Pers,” kata Ketua PWI Aceh, Nasir Nurdin didampingi Wakil Ketua Bidang Pembelaan Wartawan, Azhari.
Pemred media Harian Serambi Indonesia, Zainal Arifin M. Nur membenarkan kejadian yang menimpa wartawannya, Indra Wijaya.
Menurut Zainal, kehadiran Indra Wijaya di lokasi demo adalah atas penugasan dari pimpinan di Redaksi Harian Serambi Indonesia untuk meliput.
“Jadi Indra sedang melakukan kerja-kerja jurnalistik yang dilindungi oleh UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers,” tandas Pemred media Harian Serambi Indonesia yang juga Wakil Ketua Bidang Organisasi PWI Aceh.
Karena itu, lanjut Zainal, pihaknya sangat menyesalkan atas kejadian yang menimpa Indra, yang menurutnya dilakukan oleh seseorang yang diduga aparat kepolisian berpakaian preman.
“Kami berharap Kapolda Aceh menindak tegas anggota dimaksud, sehingga polisi benar-benar menjadi pengayom,” katanya.
Secara internal, jajaran pimpinan Harian Serambi Indonesia telah meminta konfimasi dan kronologis kejadian dari Indra Wijaya.
“Insya Allah Serambi Indonesia akan memperbaiki atau mengganti alat kerja milik Indra Wijaya,” tandasnya.
Tetapi, tegas Zainal, persoalannya bukan hanya sebatas memperbaiki atau mengganti alat kerja, melainkan adanya potensi ancaman terhadap kebebasan pers yang dilindungi oleh UU Nomor 40 Tahun 1999.
“Ini yang harus menjadi perhatian kita bersama, termasuk oleh pihak kepolisian,” demikian Zainal Arifin.
Sikap PWI Terhadap kasus yang menimpa wartawan media Harian Serambi Indonesia, secara tegas PWI Aceh menyatakan mengecam tindakan yang dilakukan oknum anggota Polri di lapangan karena jelas-jelas melanggar UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,” kata Ketua PWI Aceh, Nasir Nurdin.
PWI Aceh berharap Kapolda Aceh dan jajarannya untuk menindak tegas oknum anggota Polri yang telah merusak alat kerja wartawan karena apa yang dilakukannya telah menghalang-halangi tugas wartawan dan menyumbat hak masyarakat untuk tahu.
Keonologi kasus Seperti dibenarkan Pemred media Harian Serambi Indonesia, sekitar pukul 13.00 WIB, Indra Wijaya tiba di sekitar Gedung DPRA untuk meliput demo kenaikan harga BBM oleh mahasiswa.
Dengan menggunakan kamera HP, Indra Wijaya merekam video suasana massa di depan Gedung DPRA. Sekitar pukul 13.30 WIB massa bergerak menuju pintu gerbang utama DPRA.
Saat hendak masuk, massa dihadang oleh polisi karena hanya diberi ruang kepada 10 mahasiswa untuk audensi dengan pihak DPRA.
Massa tidak terima, sehingga mendobrak pintu pagar gedung agar bisa masuk ke dalam.
Melihat aksi mulai memanas, Indra Wijaya melakukan live streaming Facebook untuk media Serambi Indonesia.
Ketika siaran langsung itu hampir memasuki menit ke-9, ketika kamera mengarah ke beberapa mahasiswa yang diamankan polisi, tiba-tiba seorang oknum polisi berpakaian preman memukul HP di tangan Indra Wijaya hingga jatuh ke aspal jalan dan pecah bagian layar.
Indra Wijaya mengambil HP yang sudah tergeletak di aspal dan menyelamatkan diri ke depan halte dekat Kantor Bulog bersebelahan dengan Gedung DPRA.
Tak lama kemudian, laporan itu diterima pimpinannya di media Serambi Indonesia.
Editor : Jamaluddin