JAKARTA, iNewsPortalAceh.id- Asal usul kata pribumi menjadi topik pembahasan yang menarik. Sebagaimana kita ketahui, kata ‘pribumi’ menjadi istilah yang masih sangat sensitif bagi masyarakat Indonesia.
Contohnya adalah saat Anies Baswedan menggunakan kata ‘pribumi’ dalam pidato perdananya sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Alhasil, pidato Anies pun mendapat berbagai tanggapan dari masyarakat. Tak sedikit pula warganet di media sosial, termasuk Twitter, menyayangkan kalimat yang disampaikan Anies berbau sentimen negatif.
Menurut Anies, kata "pribumi" dalam pidatonya ada dalam konteks menjelaskan era penjajahan atau kolonialisme.
Selain Anies Baswedan, Mantan Menteri Perikanan dan Kelautan Susi Pudjiastuti juga pernah menggunakan kata pribumi dalam pidatonya pada Desember 2014.
Dilansir oleh Antara, Susi menyatakan bahwa perikanan tangkap harus dikuasai oleh pengusaha pribumi. Dalam pidatonya tersebut, yang dimaksudkan Susi dengan ‘pribumi’ adalah pengusaha ikan dalam negeri atau pengusaha lokal.
Lantas, sebenarnya dari mana asal usul kata pribumi? Simak ulasan iNews.id berikut ini. Asal Usul Kata Pribumi Istilah ‘pribumi’ atau ‘inlander’ sudah ada sejak zaman kolonialisme bangsa Eropa di Indonesia.
Pada masa pendudukan Belanda, orang Eropa menyebut penduduk asli sebagai ‘inlander’ yang kemudian dialihbahasakan dalam bahasa Melayu menjadi pribumi.
Dirangkum dari berbagai sumber, kata pribumi mengandung unsur rasial karena ada perbedaan hak penduduk asli dan Eropa. Berdasarkan arsip abad ke-17, orang Belanda digambarkan sangat diskriminatif dan rasis, terutama kepada etnis lain selain bangsa Eropa.
Meski begitu, pribumi atau inlander rupanya telah mengalami pergeseran makna. Hendrik E Niemeijer dalam buku Batavia: Masyarakat Kolonial Abad XVII (Penerbit Masup Jakarta, 2012), menyebut kata inlander bermakna lain dari yang diartikan di kemudian hari.
Pribumi atau inlander diidentikkan dengan warga 'mardijkers'.Menurut Niemeijer, kata 'mardijkers' berasal dari kata ‘mardicas’, yang oleh bangsa Portugis digunakan untuk merujuk pada orang-orang kulit hitam dan budak Nasrani yang telah dibebaskan.
Para budak berkulit hitam atau budak Nasrani yang sudah dibebaskan itu oleh orang Portugis disebut mardicas. Orang Belanda menyebutnya mardijker.
Berbeda halnya dengan orang Jawa, dimana pada abad ke-17 orang Jawa hampir selalu disebut orang Jawa. Bukan Inlander maupun pribumi.
Kemudian, sejak 1854 istilah pribumi berkembang dari mardjikers menjadi seluruh penduduk asli Nusantara. Istilah pribumi ini kemudian dimasukkan dalam tiga tingkatan warga Hindia-Belanda sesuai UU Kolonial tahun 1854.
Menurut sejarawan JJ Rizal, dalam UU Kolonial tersebut menyebutkan bahwa warga negara Hindia-Belanda nomor satu adalah kalangan Europeanen atau orang-orang kulit putih Eropa.
Lalu warga negara nomor dua adalah Kalangan Vreemde Oosterlingen –Timur Asing—yang meliputi orang China, Arab, India, maupun non Eropa lainnya.
Sedangkan warga negara nomor tiga, yakni inlander atau pribumi dimana di dalamnya termasuk masyarakat lokal. Hal ini kemudian menyebabkan inlander atau pribumi diidentikkan dengan masyarakat lokal (ras Melayu), terlebih lagi mereka yang beragama Islam.
Pembagian kelas dalam UU Kolonial Belanda tersebut pada akhirnya mengakibatkan kata pribumi menjadi tidak memiliki keistimewaan dan dipandang rendah.
Kata inlander atau pribumi menjadi sebutan ejekan bagi penduduk asli Indonesia oleh orang Belanda.
Editor : Jamaluddin