BANDA ACEH, iNewsPortalAceh.id – Bentrokan antara kelompok militer pecah di Sudan. Situasi tersebut mengundang perhatian serius dari dunia internasional karena dikhawatirkan bakal menjadi perang saudara.
Uni Eropa menyerukan pihak-pihak yang berkonflik di negara Afrika itu untuk segera menghentikan kekerasan.
“Berita mengkhawatirkan tentang pertempuran di #Sudan. Uni Eropa meminta semua kekuatan untuk segera menghentikan kekerasan. Eskalasi hanya akan memperburuk situasi. Perlindungan warga adalah prioritas,”
cuit Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa, Josep Borrell, di Twitter, Sabtu (15/4/2023).
Dia menuturkan semua staf Uni Eropa di Sudan masih terpantau aman. Bentrokan pecah di Sudan sejak Jumat (14/4/2023) antara Tentara Nasional Sudan dan Pasukan Dukungan Cepat (RSF) negara itu di Ibu Kota Khartoum.
Pasukan pemerintah menuduh RSF melakukan pemberontakan dan melancarkan serangan udara ke pangkalan mereka.
RSF mengklaim telah merebut Istana Republik, kantor presiden Sudan, Bandara Internasional Khartoum, serta pangkalan udara militer di Kota Merowe.
RSF menuduh Tentara Nasional Sudan menyerang pangkalan mereka di ibu kota menggunakan “semua jenis senjata”.
Pada Kamis (13/4/2023) malam, Tentara Nasional Sudan mengeluarkan pernyataan keras.
Mereka mengatakan, penempatan RSF di Khartoum dan beberapa kota lainnya adalah ilegal dan tidak dikoordinasikan dengan Angkatan Bersenjata Sudan.
Sementara media melaporkan, penyebaran RSF yang tiba-tiba di dekat Pangkalan Udara Merowe adalah pemicu keluarnya pernyataan Tentara Nasional Sudan tersebut.
Lembaga penyiaran Alarabiyah, dengan mengutip sumber, melaporkan bahwa tentara Sudan juga mengerahkan divisinya di Merowe karena adanya “masalah keamanan”.
Tentara dilaporkan mengultimatum RSF agar meninggalkan Khartoum dalam tenggat waktu yang telah ditentukan.
Akan tetapi, RSF mengklaim kehadiran mereka di sana sepenuhnya sesuai dengan tugas dan tanggung jawab mereka.
Pada Desember 2022, militer Sudan dan oposisi negara itu menandatangani perjanjian politik yang mengatur pembentukan pemerintahan sipil transisi di negara itu.
Dokumen tersebut mempertimbangkan penunjukan perdana menteri, adopsi konstitusi sementara dan masa transisi dua tahun diikuti dengan pemilihan umum.
Militer berjanji untuk tidak terlibat dalam kehidupan politik negara segera setelah perjanjian ditandatangani.
Namun, kesepakatan tersebut tidak mengakhiri ketegangan antara berbagai kelompok kekuatan di negara Afrika tersebut.
Pekan lalu, Pasukan Kebebasan dan Perubahan, gerakan oposisi terkemuka di Sudan, mengumumkan bahwa penandatanganan perjanjian politik akhir tentang pembentukan pemerintahan sipil di Sudan akan ditunda lantaran tidak adanya konsensus antara kelompok militer.
Media Sudan melaporkan, kelompok militer yang dimaksud adalah Tentara Nasional Sudan tersebut dan berbagai kelompok paramiliter, termasuk RSF.
Editor : Jamaluddin