SOFIA, iNewsPortalAceh.id – Di Wilayah Stara Zagora, Bulgaria, ada pasar jodoh yang terbilang kontroversial. Pasar itu diselenggarakan setiap musim semi.
Di sana gadis-gadis muda, yang masih perawan, diarak di depan para pelamar yang menawar mereka.
Oleh kalangan masyarakat lokal, pasar jodoh itu dikenal sebagai “Pasar Pengantin Gipsi”.
Laporan New York Times (NYT) mengungkapkan, para gadis di sana terlihat mengenakan rok beludru panjang dan kerudung berwarna cerah dengan perhiasan emas bersinar di leher, jari tangan, telinga, dan gigi mereka.
Berikut beberapa fakta tentang pasar jodoh di Stara Zagora, Bulgaria: Sudah tradisi.
Klan Kalaidzhi dari etnik Romani yang beranggotakan 18.000 orang di Bulgaria, berkumpul setiap tahun untuk menggelar pertemuan terbesar mereka di pasar jodoh tersebut.
Pasar itu diadakan pada hari Sabtu pertama Prapaskah Kristen Ortodoks. Para penjaja gadis dan calon pengantin pria biasanya terlibat diskusi dan tawar-menawar yang alot terkait mas kawin.
Setelah cocok soal harga, barulah gadis dan si pelamar berujung di pelaminan. Tradisi pasar jodoh ini membuat kesempatan bagi para remaja untuk berinteraksi dengan orang-orang Kalaidzhi lainnya dan calon pasangan hidup mereka menjadi terbatas.
Klan tersebut memang tidak senang pacaran.
Selain itu, pernikahan dengan orang luar klan mereka juga tidak disukai.
Semakin cantik, harga gadis pun makin mahal Seorang etnografer dari Akademi Ilmu Pengetahuan Bulgaria, Velcho Krustev mengungkapkan bahwa pria Kalaidzhi tidak membeli seorang istri, melainkan keperawanannya.
Menurut dia, keluarga baru pengantin wanita akan memperlakukannya dengan baik karena adanya uang tunai.
Salah satu pelamar, Hristos Georgiev (18), bernegosiasi dengan orang tua Donka Dimitrova—yang juga seusia dengannya.
Tawar-menawar antara pria itu dengan ayah perempuan itu pun akhirnya mengerucut antara 7.500 hingga 11.300 dolar AS (antara Rp120 juta–180 juta), menurut laporan NYT.
“Jumlah tersebut lebih dari satu tahun gaji rata-rata orang Bulgaria,” ungkap media AS itu.
Georgiev mengatakan, dia telah menabung uangnya saat bekerja di Siprus.
Menurut pemuada itu, jika seorang gadis itu benar-benar cantik, harganya bisa naik hingga 13.000 dolar AS (lebih dari Rp207 juta).
“Jika kecantikannya memang luar biasa, bahkan mungkin berharga 21.000 dolar AS (Rp335 juta),” menurut NYT.
Sudut pandang perempuan Donka Dimitrova, yang memperoleh pendidikan lebih tinggi dibandingkan kebanyakan anak perempuan di klan tersebut, percaya bahwa memilih calon suami seharusnya tidak dinilai berdasarkan uang yang dimilikinya.
“Tidak boleh melihat pada uangnya tetapi pada orangnya, cara dia berbicara, berpikir, merasakan, dan yang lainnya,” kata gadis itu.
Sepupu Dimitrova menambahkan, uang bukanlah jaminan bahwa pernikahan akan bertahan selamanya.
“Mereka masih bisa menemukan pernikahan lain yang lebih baik 10 hari kemudian,” tuturnya.
Kompleksitas budaya Menurut film dokumenter “Young Brides for Sale” karya Milene Larsson dan Alice Stein, konsep pasar jodoh di Bulgaria lebih rumit dari yang terlihat.
“Pasar pengantin adalah tradisi kuno yang penting bagi identitas Kalaidzhi, itulah sebabnya kebiasaan ini masih bertahan,” kata Larsson.
“Namun saat ini sebagian besar anak perempuan sudah punya ruang untuk memilih, meskipun masih dibentuk oleh tekanan keluarga, ketika menyangkut siapa (pria) yang akan mereka nikahi,” kata pembuat film asal Swedia itu, seperti dikutip News.com.au.
Larsson berpendapat, keberadaan tradisi itu sama sekali tidak menjadi pembenaran atas gagasan yang memandang bahwa perempuan dapat dijadikan properti yang dapat dijual, ditawar, dan dibeli.
Mengingat adanya kemungkinan bahwa para orang tua akan memilih untuk memberikan putri mereka kepada pria kaya daripada lelaki miskin, bahkan jika gadis tersebut jatuh cinta pada si pemuda miskin, para gadis muda itu mengakui bahwa pasar tersebut memang menakutkan.
“Ada beberapa kasus di mana laki-laki dan perempuan saling mencintai, tetapi perempuan itu mempunyai mata yang gelap (tidak berwarna). Sementara orang tua laki-laki itu ternyata kaya raya, dan mereka malah tidak akan menginginkannya menjadi menantu perempuan mereka. Mereka akan menginginkan gadis yang lebih cantik,” kata perempuan itu.
Editor : Jamaluddin