JAKARTA, iNewsPortalAceh.id - Di keluarganya dialah satu-satunya anak perempuan dari lima bersaudara. Ayahnya bernama Teuku Ben Daud Pirak. Sedangkan bunya bernama Cut Jah. Dialah Tjoet Nyak Meutia.
Tjoet Nyak Meutia lahir di Keuoerotue, Pirak Timur, Aceh Utara, 15 februari 1870– meninggal di Alue Kurieng, Aceh,24 oktober 1910, pada umur 40 tahun.
Sejak kecil Cut Meutia dididik ilmu agama oleh banyak ulama. Bahkan ayahnya sendiri adalah salah satu dari sekian banyak guru agama yang pernah mengajarnya.
Cut Meutia tumbuh sebagai seorang gadis cantik rupawan.
H.C. Zentgraaff dalam buku Atjeh Geschreven door en oud Atjehmen (1938) yang diterbitkan ulang pada 1985 setelah dialih-bahasakan oleh Aboe Bakar dengan judul Aceh, menuliskan kesan sekaligus kekagumannya:
“Cut Meutia bukan saja amat cantik parasnya, tetapi ia memiliki tubuh yang indah… wanita itu benar-benar seorang bidadari yang mempesona.”
Zentgraaff, yang pernah terlibat langsung dalam Perang Aceh, juga menggambarkan Cut Meutia dengan catatan:
“[...] namanya bersesuaian dengan penampilannya yang seperti mutiara.”
Banyak pemuda yang datang untuk meminang dan menikahinya. Cut Meutia menikah pada 1870 saat ia berusia 20.
Ia dijodohkan dengan seorang putra uleebalang bernama Teuku Syamsarif.
Dikisahkan dalam buku Prominent Women in the Glimpse of History (1994) karya Ismail Sofyan, M. Hasan Basry, dan Teuku Ibrahim Alfian, pernikahan agung itu dirayakan besar-besaran dalam adat Aceh.
Namun, Cut Meutia kurang bahagia. Suaminya cenderung tunduk terhadap Belanda.
Cut Meutia pulang ke rumah orang tuanya hingga akhirnya perkawinan mereka dianggap usai lantaran Teuku Syamsarif tidak pernah menjenguk serta menafkahinya.
Kemudian Teuku Cik Tunong berhasil meminang dan menikahinya. Saat itu tanah Aceh membara. Para pejuang Aceh berjuang mengusir penjajah Belanda.
Cut Meutia terpanggil untuk berjuang bersama suaminya. Sejak itulah mereka keluar masuk hutan untuk bertempur dan melawan Belanda.
Namun, Teuku Cik Tunong tertangkap Belanda dan dijatuhi hukuman mati. Ia mati syahid sebagai seorang pejuang Sepeninggal Teuku Cik Tunong, tidak lama kemudian Cut Meutia memilih kembali pendamping hidupnya.
Ia seorang pejuang juga yang bernama Cik Pang Nagru. Bersama suaminya, Cut Meutia meneruskan perjuangan. Mereka semakin gencar menyergap patroli-patroli Belanda.
Sudah banyak korban dari pihak marsose yang tewas di tangan Cut Meutia dan suaminya.
Pada sebuah pertempuran, Cik Pang Nagru gugur di medan perang. Cut Meutia dengan 45 pasukan yang tersisa berhasil meloloskan diri.
Bersama pasukannya yang hanya memiliki 13 pucuk senjata, Cut Meutia melanjutkan perang secara bergerilya. Raja Sabil, putra Cut Meutia yang baru berumur 11 tahun, selalu mengikuti ibunya pergi berjuang.
Kekuatan yang tidak seimbang antara pasukan marsose Belanda dan pasukan Cut Meutia membuat banyak kerabat dan teman dekat Cut Meutia mulai merasa cemas.
Mereka mengusulkan agar ia menyerah dan meminta pengampunan dari Belanda. Namun usulan itu ditolak mentah-mentah oleh Cut Meutia.Ia bertekad akan berjuang sampai mati.
Pada 1903, Sultan Mahmud Daud Syah terpaksa menyerah kepada Belanda. Peristiwa itu disusul dengan menyerahnya raja-raja lain, seperti pasukan yang dipimpin oleh Panglima Polim.
Namun Cut Meutia tidak sedikit pun mengendurkan perjuangannya. Pada suatu hari tempat persembunyian Cut Meutia tercium oleh Belanda.
Marsose menyerbu tempat persembunyian. Tanggal 24 Oktober 1910, posisi Cut Meutia terkepung.
Namun, ia tidak mau menyerahkan diri Zentgraaff menuliskan, “Saya melihat rupa wanita putih kuning itu dengan wajahnya yang cerdas, didorong oleh perasaannya yang menyala-nyala untuk tewas sebagai seorang syahid. Dengan mata yang liar dan rambut yang terurai di kepalanya, ia mengayunkan kelewangnya menyerbu kami,” tulisnya.
Dengan hanya bersenjata sebilah rencong dan pedang, ia maju paling depan untuk memimpin pasukannya.
Cut Meutia menyerang, menebas dan menerjang lawan tanpa rasa gentar. Banyak pasukan Belanda yang tewas.
Editor : Jamaluddin