BANDA ACEH, iNewsPortalAceh.id -Samudera pasai menjadi kesultanan Islam pertama di Nusantara. Lokasinya berada di ujung Pulau Sumatera dan berlokasi strategis di antara Selat Malaka dan Samudera Hindia, membuat Samudera Pasai memiliki peran penting dalam peta perdagangan dunia.
Sejarah Kerajaan Samudera Pasai terkuak dari Hikayat Raja - Raja Pasai yang dikaitkan dengan sebagian makam raja, serta penemuan koin berbahan emas dan perak dengan tertera nama rajanya.
Dari Hikayat Raja - Raja Pasai ini diketahui bahwa Samudera Pasai merupakan kerajaan yang didirikan oleh Marah Silu, yang bergelar Sultan Malik as-Saleh, lebih kurang tahun 1267.
Keberadaan kerajaan ini juga tercantum dalam kitab Rihlah ila l-Masyriq (Pengembaraan ke Timur) karya Sisa dari pembakaran Abdullah ibnu Batuthah (1304–1368), musafir Maroko yang singgah ke negeri ini pada tahun 1345.
Pada hikayat Raja Pasai dikisahkan tentang pendirian Pasai oleh Marah Silu, setelah sebelumnya beliau menggantikan seorang raja yang bernama Sultan Malik al-Nasser.
Sebagaimana dikutip dari "Runtuhnya Kerajaan Hindu-Buddha dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara, dikisahkan Raja Pasai Marah Silu ini sebelumnya berada pada satu kawasan yang disebut dengan Semerlanga.
Selanjutnya setelah naik tahta bergelar Sultan Malik as-Saleh, beliau wafat pada tahun 696 H atau 1297 M.
Dalam Hikayat Raja-raja Pasai maupun Sulalatus Salatin nama Pasai dan Samudera telah dipisahkan merujuk pada dua kawasan yang selisih, namun dalam catatan Tiongkok nama-nama tersebut tidak dibedakan sama sekali.
Sementara Marco Polo dalam lawatannya mencatat sebagian daftar kerajaan yang berada di pantai timur Pulau Sumatera masa itu, dari selatan ke utara terdapat nama Ferlec (Perlak), Basma, dan Samara (Samudera).
Maka ada sumber lain yang mengatakan bahwa Kerajaan Samudera Pasa merupakan gabungan dari Kerajaan Pase dan Peurlak, dengan raja pertama Malik al-Saleh.
Dimana Kesultanan Samudera Pasai sendiri berpusat di Selang Krueng Jambo Aye atau Sungai Jambu Air dengan Krueng Pase atau Sungai Pasai, yang terletak di Aceh Utara.
Di sisi lain, ada seorang pengembara muslim dari Maghribi bernama Ibnu Bathutah sebagaimana dikutip laman resmi Pemerintah Provinsi (Pemprov) Aceh, mengunjungi Pasai tahun 1346 M.
Ia juga menceritakan bahwa, ketika ia di Cina, dirinya melihat adanya kapal Sultan Pasai di negeri Cina. Sumber-sumber Cina ada yang menyebutkan utusan Pasai secara rutin datang ke Cina untuk menyerahkan upeti.
Informasi lain juga menyebutkan, Sultan Pasai mengirimkan utusan ke Quilon, India Barat pada tahun 1282 M. Ini membuktikan bahwa Samudera Pasai memiliki relasi yang cukup luas dengan kerajaan luar.
Pada masa jayanya, Kesultanan Samudera Pasai merupakan pusat perniagaan penting di kawasan itu, dikunjungi oleh para saudagar dari berbagai negeri, seperti Cina, India, Siam, Arab dan Persia.
Komoditas utama adalah lada.Sebagai bandar perdagangan yang besar, Samudera Pasai mengeluarkan mata uang emas yang disebut dirham. Uang ini digunakan secara resmi di kerajaan tersebut.
Di samping sebagai pusat perdagangan, Samudera Pasai juga merupakan pusat perkembangan agama Islam.
Secara sistem politik di Kesultanan Samudera Pasai pasca Sultan Malik al-Saleh wafat, maka pemerintahannya digantikan oleh keturunannya yaitu Sultan Muhammad yang bergelar Sultan Malik al-Tahir I (1297 – 1326).
Pengganti dari Sultan Muhammad adalah Sultan Ahmad yang juga bergelar Sultan Malik al-Tahir II (1326 – 1348).
Semasa Sultan Ahmad yang naik tahta bergelar Sultan Maling al-Tahir II pada tahun 1326 - 138, Samudera Pasai terus berkembang.
Bahkan kerajaan ini menjalin hubungan dengan berbagai kerajaan Islam di India dan Arab. Bahkan melalui catatan kunjungan Ibnu Batutah seorang utusan dari Sultan Delhi tahun 1345 dapat diketahui Samudera Pasai merupakan pelabuhan yang penting dan istananya disusun dan diatur secara India dan patihnya bergelar Amir.
Pada masa selanjutnya pemerintahan Samudera Pasai tidak banyak diketahui karena pemerintahan Sultan Zaenal Abidin yang juga bergelar Sultan Malik al-Tahir III kurang begitu jelas.
Kondisi pemerintahan dan politik internal kerajaan yang stabil, membuat kondisi ekonomi Kerajaan Samudera Pasai cukup stabil. Apalagi hal ini didukung dengan lokasi Kerajaan Samudera Pasai yang strategis di antara Selat Malaka dan Samudera Hindia.
Tak ayal banyak pedagang - pedagang dari luar negeri singgah, lambat laun Kerajaan Samudera Pasai mampu menggantikan peran Kerajaan Sriwijaya sebagai pusat bandar dagang di kawasan Selat Malaka.
Kerajaan Samudera Pasai memiliki hegemoni (pengaruh) atas pelabuhan-pelabuhan penting di Pidie, Perlak, dan lain-lain. Samudera Pasai berkembang pesat pada masa pemerintahan Sultan Malik al-Tahir II. Hal ini juga sesuai dengan keterangan Ibnu Batutah.
Komoditi perdagangan dari Samudra yang penting adalah lada, kapur barus, dan emas. Di Komoditi perdagangan pada misalnya, catatan Ma Huan disebutkan ada 100 kati lada dijual dengan harga perak 1 tahil.
Pada perdagangan Kesultanan Pasai mengeluarkan koin emas untuk peralatan transaksi pada warganya, mata uang ini dikata deureuham (dirham) yang dibuat susunan 70 persen emas murni dengan berat 0.60 gram, diameter 10 mm, mutu 17 karat.
Warga Pasai umumnya telah menanam padi di ladang, yang dipanen 2 kali setahun, serta memilki sapi perah untuk menghasilkan keju.
Sedangkan rumah penduduknya memiliki tinggi rata-rata 2.5 meter yang disekat dijadikan sebagian bilik, dengan lantai terbuat dari bilah-bilah kayu kelapa atau kayu pinang yang disusun dengan rotan, dan di atasnya dihamparkan tikar rotan atau pandan.
Sementara untuk kepentingan perdagangan sudah dikenal uang sebagai alat tukar yaitu uang sebagai alat tukar yaitu uang emas yang dinamakan Deureuham (dirham).
Seiring berjalannya waktu lambat laun sinar Kerajaan Samudera Pasai mulai meredup. Ada dua sumber yang menyebut kemunduran Samudera Pasai, pertama karena adanya serangan dari Kerajaan Siam di Thailand.
Kedua karena ekspansi Kerajaan Majapahit yang dilakukan sekitar tahun 1360 M. Selanjutnya pada tahun 1524 M ditaklukkan oleh kerajaan Aceh, sejak saat itulah keberadaan Kesultanan Samudera Pasai hanya menjadi cerita sejarah bagi segolongan masyarakat di Aceh sana.
Editor : Jamaluddin