2 Dekade Silam yang Tak Terlupakan, Air Mata dan Doa Membasuh Kuburan Massal Tsunami Aceh
BANDA ACEH, iNewsPortalAceh.id - Langit Aceh pada Jumat, 26 Desember 2025, diselimuti suasana khidmat yang menggetarkan sanubari. Tepat 21 tahun setelah gelombang raksasa meluluhlantakkan Tanah Rencong, ribuan warga kembali bersimpuh di hamparan rumput kuburan massal tsunami Aceh, tempat belasan hingga ratusan ribu nyawa beristirahat dalam sunyi.
Di Desa Ulee Lheue, Banda Aceh, isak tangis pecah di tengah lantunan surat Yasin yang menggema. Bagi banyak peziarah, nisan tanpa nama di sini adalah satu-satunya tautan fisik tersisa dengan orang-orang tercinta yang jasadnya tak pernah ditemukan sejak pagi kelabu tahun 2004 silam.
Kuburan Massal Ulee Lheue berdiri sebagai saksi bisu kedahsyatan alam, di mana dua lubang raksasa menjadi rumah abadi bagi lebih dari 14.000 jiwa. Erwin, salah satu peziarah yang hadir, mengungkapkan bahwa kedatangannya adalah bentuk bakti tak terputus.
Meski jasad keluarganya telah menyatu dengan bumi tanpa identitas, ia meyakini bahwa doa-doa yang dipanjatkan akan sampai sebagai penyejuk bagi mereka yang telah tiada. Baginya dan ribuan warga lainnya, ziarah ini bukan sekadar rutinitas tahunan, melainkan cara merawat ingatan dan menjaga ikatan batin yang tak mampu diputus oleh maut.
Kesedihan yang sama juga menyelimuti Desa Suak Indrapuri di Kabupaten Aceh Barat. Di atas tanah yang menjadi peristirahatan terakhir bagi lebih dari 132.000 korban, ribuan warga berkumpul dalam zikir bersama yang menyayat hati.
Taburan bunga di atas pusara massal menjadi simbol penghormatan bagi anak, orang tua, dan sanak saudara yang tersapu gelombang dua dekade lalu. Luka lama itu tampak belum sepenuhnya kering; kenangan saat air laut naik masih terekam jelas di benak para penyintas, menjadikan setiap peringatan sebagai momen refleksi yang sangat personal.
Pj Bupati Aceh Barat, Tarmizi, dalam pesannya menekankan bahwa peringatan ini adalah momentum untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan. Selain tausiah agama dan penyantunan anak yatim, peringatan tahun ini juga diwarnai dengan solidaritas yang tinggi.
Di tengah zikir, warga turut mendoakan para korban banjir bandang yang saat ini sedang melanda berbagai wilayah lain di Indonesia. Doa-doa tersebut menjadi pengingat bahwa penderitaan akibat bencana adalah duka bersama yang harus dihadapi dengan saling menguatkan.
Melalui momentum 21 tahun ini, masyarakat Aceh diajak untuk tidak hanya mengenang luka masa lalu, tetapi juga membangun ketangguhan.
Sebagai wilayah yang rawan gempa, kesiapsiagaan dan edukasi bencana menjadi warisan terpenting bagi generasi mendatang. Peringatan ini menjadi bukti bahwa meski waktu terus berjalan, semangat solidaritas dan doa untuk para syuhada tetap mengalir abadi, menjadikan Aceh sebagai negeri yang lebih kuat dan waspada di tengah dekapan sejarahnya yang getir.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta