Revisi UUPA dan Masa Depan Otonomi Aceh: Menjawab Pertanyaan “20 Tahun Sudah Bikin Apa?”
LHOKSEUMAWE, ReportNews.id - Pernyataan Anggota Komisi III DPR RI Benny K. Harman dalam RDPU yang mempertanyakan “20 tahun sudah bikin apa?” perlu dipahami dalam konteks analisis kebijakan publik yang utuh. Pertanyaan tersebut memang dapat menjadi pemicu evaluasi, namun berpotensi menyederhanakan persoalan Aceh jika dilepaskan dari faktor struktural dan desain kebijakan nasional, Jumat, (14/11/2025).
Menurut Sofyan, S.Sos, Pemerhati Kebijakan Publik, evaluasi Otonomi Khusus Aceh harus dilakukan melalui pendekatan diagnosa kebijakan (policy diagnosis), bukan saling menyalahkan. Ia menegaskan bahwa penggunaan dana sekitar Rp100 triliun selama dua dekade harus dilihat secara objektif melalui kerangka evaluasi yang terukur, bukan melalui stigma bahwa Aceh “tidak melakukan apa-apa”.
1. Hambatan Aceh Bersifat Struktural
Sofyan menjelaskan bahwa ada tiga persoalan utama yang menghambat efektivitas Otonomi Khusus:
• Desain fiskal tidak mendorong kemandirian, karena Dana Otsus masih berfungsi sebagai dana pemulihan pascakonflik, bukan transformasi ekonomi.
• Kewenangan Aceh tidak sinkron dengan UU sektoral sehingga banyak Qanun dibatalkan dan investasi terhambat.
• Kapasitas kelembagaan lemah akibat warisan konflik, sehingga reformasi birokrasi berjalan lambat.
“Masalah Aceh bukan semata manajemen lokal, tetapi persoalan struktural yang membutuhkan desain kebijakan nasional yang lebih tepat,”.
2. Evaluasi Harus Melibatkan Pemerintah Pusat
Menurut Sofyan, tidak adil menjadikan Aceh satu-satunya pihak yang dianggap gagal selama 20 tahun Otsus. Evaluasi harus menyentuh:
• konsistensi pemerintah pusat dalam menjalankan MoU Helsinki,
• keterlambatan dan tumpang tindih regulasi,
• ketiadaan indikator evaluasi yang disepakati bersama Aceh–Jakarta.
“Tanpa baseline bersama, evaluasi apa pun tidak memiliki dasar ilmiah,” ujarnya.
3. Helsinki Tetap Relevan
Sofyan menilai pernyataan “jangan sedikit-sedikit Helsinki” keliru secara substansi.
“Helsinki bukan slogan politik. Itu fondasi lahirnya UUPA dan kerangka hubungan Aceh–Jakarta. Mengabaikannya sama dengan menghilangkan dasar hukum otonomi Aceh,” jelasnya.
4. Rekomendasi untuk Revisi UUPA
Sofyan mengusulkan empat langkah strategis:
1. Reformulasi Skema Dana Otsus menuju incentive-driven allocation yang mendorong kemandirian ekonomi.
2. Harmonisasi UUPA dan UU sektoral melalui mekanisme lex specialis harmonization unit agar kewenangan Aceh tidak kembali tergerus.
3. Pembentukan lembaga khusus di bawah Presiden (Aceh Policy Delivery Unit) untuk memastikan dana dan program Otsus tepat sasaran dan bebas distorsi politik.
4. Penyusunan indikator keberhasilan bersama Aceh–Pusat sebagai dasar evaluasi objektif setiap lima tahun.
“Setiap kritik, termasuk dari tokoh nasional, harus menjadi energi untuk memperbaiki kebijakan, bukan menambah stigma terhadap Aceh,”
Penulis: Sofyan, S.Sos, Pemerhati Kebijakan Publik
Editor : Armia Jamil
Artikel Terkait
