Jusuf Kalla Buka Suara: 4 Pulau Sengketa Milik Aceh Singkil, Bawa Dokumen Helsinki dan UU 1956

JAKARTA, iNewsPortalAceh.id – Mantan Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla (JK), angkat bicara soal polemik status empat pulau yang diperebutkan antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara. Dalam pernyataannya, JK menegaskan bahwa dasar historis dan hukum menunjukkan pulau-pulau tersebut masuk dalam wilayah Aceh, merujuk pada MoU atau perjanjian Helsinki dan Undang-Undang Tahun 1956.
“Banyak yang bertanya soal ini dan membicarakan soal pembicaraan atau MoU di Helsinki. Karena itu, saya membawa dokumen MoU-nya,” ujar JK dalam keterangannya, di Jakarta, Jumat (13/6/2025).
JK menjelaskan, ketentuan mengenai perbatasan Aceh tercantum dalam perjanjian MoU Helsinki, tepatnya pada Pasal 1.1.4.
“Perbatasan Aceh merujuk pada perbatasan tanggal 1 Juli 1956,” tegasnya.
Ia menguraikan, pada tahun tersebut, Presiden Soekarno menerbitkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 yang secara resmi membentuk Provinsi Aceh. Sebelumnya, wilayah Aceh hanya merupakan bagian dari Provinsi Sumatera Utara dan berstatus sebagai residen.
“Jadi, pembicaraan atau kesepakatan di Helsinki itu merujuk pada kondisi perbatasan seperti pada tahun 1956. Pada tahun itu, melalui Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956, Presiden Soekarno membentuk Provinsi Aceh,” kata JK.
“Dasar hukumnya jelas: Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956, yang meresmikan Provinsi Aceh berikut wilayah administratifnya,” imbuhnya.
Mengenai polemik empat pulau yang kini menjadi sorotan—Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Besar (Mangkir Gadang), dan Pulau Mangkir Kecil (Mangkir Ketek)—JK menegaskan bahwa secara historis pulau-pulau itu masuk wilayah Kabupaten Aceh Singkil.
“Memang, letak geografisnya lebih dekat ke wilayah Sumatera Utara, tetapi hal seperti itu lumrah terjadi. Sebagai contoh, di Sulawesi Selatan ada pulau yang letaknya lebih dekat ke Nusa Tenggara Timur (NTT), tapi secara administratif tetap milik Sulawesi Selatan,” jelasnya.
JK juga mengungkap bahwa ia telah berdiskusi langsung dengan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian terkait persoalan ini.
“Karena wilayah tersebut diatur melalui undang-undang, maka tidak mungkin diubah atau dipindahkan hanya melalui keputusan menteri (Kepmen), sebab secara hirarki, undang-undang lebih tinggi daripada Kepmen. Jika ingin mengubahnya, harus melalui perubahan undang-undang juga,” tegasnya.
Ia juga menyebut, selama ini masyarakat yang tinggal di empat pulau tersebut membayar pajak ke Kabupaten Singkil sebagai bukti administratif yang sah.
“Nanti juga ada teman-teman yang akan menunjukkan bukti pembayaran pajaknya ke Singkil,” ungkap JK.
Meski menghargai niat Mendagri yang ingin efisiensi pemerintahan, JK menegaskan pentingnya menghormati dasar hukum dan sejarah.
“Tentu, kita hargai niat baik Pak Tito yang ingin agar pemerintahan berjalan lebih efisien dan dekat dengan masyarakat. Tapi secara historis dan hukum, pulau-pulau itu adalah bagian dari Aceh,” katanya.
JK juga menjelaskan bahwa MoU Helsinki merupakan hasil kesepakatan antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), termasuk kesepakatan untuk tidak melakukan pemekaran wilayah yang bisa menimbulkan masalah baru di Aceh.
“Kedua belah pihak sepakat untuk membahas perbatasan dengan mengacu pada dasar hukum yang kuat. Salah satu poin penting yang menjadi perhatian pihak Aceh adalah keinginan agar tidak terjadi lagi pemekaran wilayah seperti yang terjadi di Papua,” jelasnya.
“Pemerintah setuju dengan kekhawatiran itu. Oleh karena itu, dalam perundingan Helsinki disepakati bahwa perbatasan Aceh merujuk pada kondisi wilayah sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956, yang dikeluarkan pada 1 Juli 1956. Pasal 1.1.4 dalam MoU itu pun merujuk langsung ke tanggal tersebut sebagai dasar batas wilayah Aceh,” tandasnya.
Editor : Suriya Mohamad Said